Aku duduk di sini tanpa persetujuanmu, tanpa izinmu tentunya, karena aku
rindu kamu, dan ingin bertemu kamu; rasanya alasan itu sudah cukup
untuk menjelaskan semua. Kamu melarangku datang, dengan alibi tak ingin
materimu berantakan karena ada seseorang yang menyaksikanmu. Ah, kauini,
bisa saja membuatku semakin bersemangat untuk melanjutkan hubungan ini
dan menumbuhkan perasaanku padamu. Ya, karena hubungan kita terlalu naif
jika disebut teman dan terlalu berlebihan disebut kekasih. Kita
terjebak dalam hubungan yang entah dinamakan apa.
Atas nama hari kita lalui banyak hal dan peristiwa yang sebenarnya masih
tak bisa kukira dan kucerna. Aku bisa dekat denganmu dan ini seperti
mimpi wahai Pangeran Medok-ku. Beberapa bulan yang lalu, saat
mengantarmu ke bandara siang itu, rasanya masih kurasakan getaran hebat
yang tak bisa kupahami dengan akal sehatku. Saat barisan rapi gigimu
yang terpasang behel itu, saat kulit hitam manismu menyentuh lenganku,
saat asap rokokmu mengepul di udara, dan kita bercerita banyak mimpi
yang segera kita wujudkan bersama di Jakarta.
Aku tidak merangkul apalagi memelukmu, aku tak ingin seluruh mata
tertuju pada kita apalagi kaubukan orang biasa. Di balik jaket kulit itu
ada tubuh yang sebenarnya sangat ingin kurangkul, kupeluk sampai sulit
bernapas, dan kudekap sampai aku lupa pada kesepian. Sayangnya, ah, kamu
terlalu tinggi untukku, aku yang hanya penulis biasa, tidak mungkin
selevel dengan artis serba bisa sepertimu. Aku hanya perempuan
sederhana, yang hanya bisa berkhayal dan bermimpi. Tenang saja, aku
selalu sadar diri, bahwa emas sepertimu tak pantas mencintai pasir kali
sepertiku.
Aku menghela napas bahagia ketika mengingat hari itu. Si gadis biasa ini
punya kesempatan untuk mengisi hari-hari sibukmu. Setelah hari itu pun,
percakapan kita masih berlanjut. Tahukah kamu, saat kautak ada di sini,
hanya video-video Youtube-mu yang jadi obat rinduku. Hanya alunan suara
biolamu yang mengantarkan tidurku. Kita tak dapat bercengkrama lagi via
suara karena di kota sana kauterlalu sibuk dan aku tak punya banyak
ruang untuk mendengar suara beratmu yang selalu melahap habis ngantukku.
Pentas sudah dimulai dan kamu seperti biasa, dengan gaya sederhanamu,
dengan biola ajaibmu, menghipnotis penonton. Berhasil membuat para
wanita histeris dalam hati. Ya, kauselalu berhasil soal membuat siapapun
merasa jatuh cinta padamu dan aku adalah salah satu orang yang terjebak
dalam perasaan itu. Seusai gema tawa itu, kamu kembali ke belakang
panggung. Aku penasaran apa yang kaulakukan di sana hingga aku berencana
diam-diam menyusulmu.
Aku memperhatikan sosokmu di sana bersama seseorang yang tak kukenal.
Kau merangkul mesra gadis seorang gadis yang kukenali. Gadis yang
beberapa waktu lalu mengajak aku berkenalan dan menginterogasi semua
mengenai hubungan kita. Gadis yang terpaksa kubohongi karena kau
memberiku isyarat agar tak bercerita apapun tentang hubungan kita. Gadis
yang entah mengapa terlihat sangat bahagia dan puas ketika aku
berbohong bahwa aku dan kamu tak memiliki kedekatan apapun.
Gadis itu membasuh keringatmu. Saking mesranya, kautak tahu aku, yang selalu mendengar ucapan "I love you" dari bibirmu ini sedang melihat peristiwa yang tak pernah kuduga sebelumnya. Kalian tertawa dan di situ-- aku hening seketika. Ternyata ini alasanmu melarangku hadir dalam setiap penampilanmu? Kamu berhasil membuatku remuk. Kamu menang, Mas.
Gadis itu membasuh keringatmu. Saking mesranya, kautak tahu aku, yang selalu mendengar ucapan "I love you" dari bibirmu ini sedang melihat peristiwa yang tak pernah kuduga sebelumnya. Kalian tertawa dan di situ-- aku hening seketika. Ternyata ini alasanmu melarangku hadir dalam setiap penampilanmu? Kamu berhasil membuatku remuk. Kamu menang, Mas.
Mataku sudah mulai panas dan aku segera menelepon seorang pria yang juga kaukenali.
"Ada apa? Kamu di mana? Masih di sana?" sapa pria itu dengan lembut seperti biasa.
Aku mengatur napasku yang memburu, sebelum menjawab pertanyaan pria itu, "Di belakang panggung, kamu katanya mau...."
"Oh, iya, sebentar." suara itu langsung menggema di belakangku, pria
yang tadi tersambung denganku lewat telepon itu sudah berada di
sampingku. "Aku nggak nyangka kamu mau datang."
Aku mengangguk senang, sesenang mungkin agar dia tak membaca kesedihanku.
"Kamu suka penampilan aku kan? Mau datang untuk aku kan?"
Sekali lagi aku mengangguk.
"Oh, iya, aku janji mau ngenalin kamu ke Mas itu, ya?" dia menggenggam tanganku dan membawaku berjalan dengan langkah ringan menuju kamu dan gadis itu.
Aku mengangguk senang, sesenang mungkin agar dia tak membaca kesedihanku.
"Kamu suka penampilan aku kan? Mau datang untuk aku kan?"
Sekali lagi aku mengangguk.
"Oh, iya, aku janji mau ngenalin kamu ke Mas itu, ya?" dia menggenggam tanganku dan membawaku berjalan dengan langkah ringan menuju kamu dan gadis itu.
"Mas, tadi keren banget, lho. Materinya pecah!" ucap pria yang menggenggam erat jemariku.
Kamu tidak memperhatikan wajah pria itu, kamu malah memperhatikanku yang menundak dan tak memperhatikan matamu.
"Oh, ya, makasih. Kamu juga lucu, ketawa penonton lebih besar waktu act out-mu, kok." pandanganmu bergantian ke arahku lalu ke arah pria di sampingku.
"Oh, ya, makasih. Kamu juga lucu, ketawa penonton lebih besar waktu act out-mu, kok." pandanganmu bergantian ke arahku lalu ke arah pria di sampingku.
"Beneran, Mas?" pria di sampingku tertawa geli, "Ini, lho, Mas, pacarku. Penulis, lho. Yang suka ngegalau di Twitter itu."
Aku berusaha mengangkat kepalaku dengan tegar, semakin tegar ketika
kulihat jemarimu menggenggam erat jemari gadis itu. Dan, kautak
melepaskannya barang sedetikpun. Aku memasang senyum paling bahagia
meskipun matamu menatapku dengan tajam, setajam tatapanmu waktu pertama
kali kita bertemu di bandara, "Halo, Mas. Tadi bagus banget. Saya pasti
beruntung karena ini pertama kalinya saya lihat Mas tampil. Biasanya
cuma lihat di Youtube."
Kamu berusaha tertawa dan kurasakan nada terpaksa dalam tawamu. Sikap
dingin itu terasa membekukan hatiku. Aku hanya diam ketika kau
berbincang dengan pria yang sejak tadi masih menggenggam jemariku. Lalu,
kita berpisah dan aku meninggalkanmu. Kali ini, entah mengapa, aku
merasa juga jadi pemenang.
Terima kasih, hari ini, kita telah; saling melukai.
0 komentar:
Posting Komentar