Aku menunggu di bawah pohon rindang, sambil menjaga alas kaki yang
kautitipkan padaku. Masih banyak pria-pria tampan berlalu-lalang di
depanku. Beberapa dari mereka mengenakan sarung dan baju koko, tak lupa
juga peci tersemat di kepala. Wajah mereka terlihat bersih karena sudah
dibasuh air wudu dari rumah. Kendaraan bermotor tak lagi terlihat
banyak. Tuhan memanggil dan ratusan orang datang menemuiNya.
Sambil membaca buku, kudengar suara khotbah diantar pengeras suara
masjid. Di dalam sana, pasti kausedang mendengar sabda Tuhan dengan
wajah serius dan mata yang tajam. Bersama dengan banyak pria lainnya,
kamu pasti sedang duduk rapi. Wajahmu tentu setampan banyak pria yang
beberapa saat lalu kulihat memasuki masjid. Basuhan air wudu memperhalus
garis-garis wajahmu yang selalu terlihat menarik di mataku.
Menunggumu selesai salat Jumat bukanlah hal yang pertama bagiku. Ini
sudah kulakukan berulang kali, berkali-kali. Seperti biasa, ditemani
dengan buku fiksi dan gadget, aku menunggumu selesai menemui
Tuhan. Sudah kubayangkan, setelah salat Jumat, kamu pasti bercerita
tentang khotbah yang kaudengar di dalam masjid. Kotbah yang juga
kudengar di luar masjid, di dekat pohon rindang, tempat aku selalu
menunggumu.
Sembari menunggumu, kulayangkan ingatanku pada hari-hari yang telah kita
lewati. Pada pertemuan pertama kita yang memunculkan ledakan baru di
dadaku. Pada kebersamaan kita yang mengalir tanpa banyak pertanyaan.
Pada hari-hari baru yang seringkali menggoreskan senyum di bibirku. Kita
selalu bahagia bukan? Aku percaya, jawabanmu pasti adalah "ya", karena
kamu selalu tersenyum setiap kali aku bercerita tentang banyak mimpi
yang belum pernah kita lewati.
Aku tak tahu apakah perjalanan kita butuh ujung dan akhir. Langkah kita
begitu lurus dan maju, tak banyak lika-liku, tapi entah mengapa
pikiranku seringkali mengharu biru. Aku mencoba mencari sebab dari
ketakutanku, kusentuh kalung salib yang menggantung di leherku. Kujamah
tubuh Yesus yang sedang kesakitan oleh paku di tangan dan kakiNya, oleh
mahkota duri yang tersemat di kepalaNya. Dia sudah begitu mengasihiku,
apakah aku harus menyakiti Dia dengan hubungan kita yang jauh dari kata
biasa?
Terlintas sebuah ayat yang pernah kubaca, Terang tak dapat bersatu dengan gelap.
Aku tak tahu siapakah yang bisa disebut "Terang" dan siapakah yang bisa
disebut "Gelap"? Aku bertanya-tanya dan terus bertanya. Tiba-tiba aku
ketakutan, seperti dikejar-kejar sesuatu yang memaksaku untuk
menjauhimu. Mungkinkah aku harus pergi? Sementara kita sudah mulai
nyaman dengan yang kita jalani.
Sayang, aku duduk di sini sendiri, dengan rasa takut yang mungkin juga
kurasakan sendiri. Aku takut jika perpisahan pada akhirnya menjadi
pilihan kita. Ketakutanku semakin lengkap mengetahui kamu beribadah di
tempat yang berbeda denganku. Apakah kita melakukan sebuah kesalahan dan
dosa terindah?
Aku takut pada cerita akhir kita yang penuh teka-teki. Aku bahkan tak
berani membayangkan jika pada akhirnya semua (terpaksa) berakhir tanpa
keinginanku dan keinginanmu. Kita berbeda, apa yang aku dan kamu
harapkan dari ketidakmungkinan seperti ini?
Ah, itu, dia! Kamu baru selesai salat Jumat dan segera menghampiriku.
Tersenyum dengan wajah senang karena aku masih berada di sini untuk
menunggumu. Seperti biasa, kaubercerita tentang khotbah yang kaudengar
di dalam masjid. Sambil mengenakan alas kakimu, kautetap menatapku
dengan tatapan hangat. Kauajak aku berjalan, menggenggam tanganku erat,
dan membelai lembut rambutku.
Ketakutanku selalu berulang setiap kali kutemani kamu melaksanakan
ibadah. Aku memasang senyum sebahagia mungkin, agar kautak tahu; aku
begitu mengkhawatirkan kita.
0 komentar:
Posting Komentar